Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya, ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.
Negara Integral dan Perang Posisi dalam Teori Hegemoni Gramsci
Minggu, 17 Agustus 2025 16:16 WIB
Kekuasaan tak hanya koersif; konsensus dan masyarakat sipil jadi medan utama pertarungan.
***
Pemikiran Antonio Gramsci secara fundamental berupaya menjawab pertanyaan krusial mengenai kegagalan revolusi proletar di negara-negara kapitalis yang sudah maju, khususnya di Italia pasca-Perang Dunia I. Pertanyaan ini muncul ditengarai karena di negaranya sendiri ini, ideologi fasisme justru yang menguat, alih-alih sosialisme.
Berangkat dari cita-cita masyarakat tanpa kelas yang bebas eksploitasi, Gramsci mengamati adanya disparitas signifikan antara prediksi dalam teori Marxis klasik yang meramalkan keruntuhan kapitalisme dan realitas politik kaum pekerja yang belum mampu menumbangkan dominasi borjuis. Ia pun mempertanyakan, mengapa, meski kapitalisme diyakini telah matang dan prasyarat sosial-ekonomi untuk transisi menuju sosialisme sudah terpenuhi, kekuatan borjuis tetap kokoh?
Dalam analisisnya, Gramsci menyoroti bahwa dominasi borjuis ternyata tidak semata-mata bergantung pada kekerasan atau koersi fisik (dominasi langsung), melainkan juga pada kemampuan mereka untuk memperoleh konsensus dari masyarakat luas. Inilah inti dari Teori Hegemoni Gramsci.
Singkatnya, hegemoni bagi Gramsci, adalah kepemimpinan moral dan intelektual yang berhasil dicapai oleh kelas dominan, sehingga nilai-nilai, ideologi, dan pandangan dunia kelas penguasa ini diterima sebagai hal yang wajar dan universal oleh kelas-kelas yang didominasi. Konsensus ini bukan hasil pemaksaan secara eksplisit, melainkan melalui proses yang kompleks di mana institusi-institusi masyarakat sipil—seperti sekolah, gereja, media massa, serikat pekerja, dan partai politik—memainkan peran kunci dalam menyebarkan dan melegitimasi ideologi kelas penguasa. Dengan kata lain, kaum borjuis tidak hanya menguasai alat-alat produksi an sich, tetapi juga menguasai “akal sehat” masyarakat, sehingga upaya revolusioner untuk mengubah tatanan sosial menjadi sangat sulit.
Pertanyaan Gramsci mengenai mengapa masyarakat Italia justru mendukung fasisme, dan bukan sosialisme, juga menjadi titik tolak penting dalam pengembangan teorinya. Ia melihat bahwa kaum borjuis dan negara mampu mengamankan hegemoni mereka dengan cara mengakomodasi (atau setidaknya memberikan ilusi akomodasi) beberapa tuntutan atau kepentingan dari kelas-kelas yang didominasi, seraya secara halus menanamkan nilai-nilai yang mendukung status quo. Kegagalan kaum pekerja untuk membangun hegemoni tandingan—yaitu, untuk mengembangkan visi alternatif masyarakat yang menarik dan dapat diterima secara luas—menjadi kunci mengapa mereka gagal dalam perjuangan revolusioner.
Oleh sebab itu, Teori Hegemoni Gramsci bukan hanya menjelaskan kegagalan revolusi proletar, melainkan teori ini juga menawarkan strategi baru bagi partai revolusioner. Strategi ini menekankan pentingnya “perang posisi” (a war of position) di ranah masyarakat sipil, di mana partai harus bekerja secara kultural dan ideologis untuk membangun konsensus tandingan, mengedukasi massa, dan menciptakan “intelektual organik” dari kelas pekerja yang mampu menantang hegemoni borjuis. Hanya dengan memenangkan pertarungan ideologis ini, sebuah partai revolusioner dapat menumbuhkan dukungan yang kuat dan mencapai kekuatan penuh untuk mewujudkan perubahan sosial menuju masyarakat sosialis.
Kritik Gramsci terhadap Reduksionisme Marxisme Klasik
Teori Hegemoni Gramsci tidak hanya menawarkan penjelasan baru mengenai kegagalan revolusi proletar, tetapi juga menyajikan kritik fundamental terhadap reduksionisme dan esensialisme yang melekat pada Marxisme klasik. Gramsci secara tajam menyoroti kecenderungan Marxisme-ortodoks untuk mereduksi kompleksitas realitas sosial pada satu faktor penentu tunggal, khususnya dalam melihat hubungan antara basis ekonomi (struktur dasar) dan superstruktur (ideologi, politik, budaya, pendidikan, dll.).
Dalam Marxisme klasik, sering kali terdapat keyakinan deterministik bahwa basis ekonomi secara otomatis dan mekanistik menentukan superstruktur. Pandangan ini, yang oleh Gramsci disebut sebagai ekonomisme, mereduksi perjuangan kelas hanya pada ranah ekonomi, sehingga menjadikannya semata-mata sebagai gerakan pekerja yang menuntut hak ekonomi saja.
Konsekuensinya, gerakan-gerakan sosial lain seperti gerakan hak-hak sipil, gerakan perempuan, gerakan budaya, atau gerakan lingkungan, cenderung diabaikan atau dianggap sekunder. Gramsci pun menentang pandangan sempit ini dengan menunjukkan bahwa gerakan pekerja hanyalah salah satu bagian dari masyarakat sipil yang lebih luas dan kompleks. Ia menekankan adanya interkonektivitas yang dinamis antara berbagai elemen dalam masyarakat sipil, di mana ideologi, budaya, dan politik memiliki otonomi relatif dan berperan signifikan dalam membentuk kesadaran serta tindakan sosial.
Lebih lanjut lagi, Gramsci juga mengkritik pandangan positivistik dan mekanistik Marxisme klasik mengenai perubahan sosial dan revolusi. Marxisme klasik sering kali menganut keyakinan linear bahwa perkembangan masyarakat berlangsung melalui tahapan-tahapan yang telah ditentukan: dari masyarakat primitif ke feodal, lalu kapitalis, yang pada akhirnya akan melahirkan revolusi sosialis. Akan tetapi, realitas yang dihadapi Gramsci di Italia—di mana formasi sosial kapitalistik yang eksploitatif dan penindasan politik rezim fasisme Mussolini ternyata tidak secara otomatis memicu revolusi, melainkan justru memunculkan fenomena “de-proletarisasi” di mana kaum pekerja menerima penderitaan dan bahkan mendukung rezim—membuktikan kekeliruan asumsi linear ini.
Reaksi intelektual Gramsci terhadap realitas ini menjadi salah satu pendorong utama lahirnya Teori Hegemoni. Teori ini secara fundamental merupakan antitesis terhadap model perubahan sosial yang terlalu positivistik dan deterministik.
Gramsci berargumentasi bahwa perubahan sosial tidaklah terjadi secara otomatis akibat kontradiksi ekonomi semata. Berbalik fakta dari itu, ia membutuhkan perjuangan ideologis dan kultural yang intens untuk membentuk konsensus dan hegemoni tandingan terhadap kelas penguasa. Dengan begitu, Gramsci mengajak kaum Marxis untuk keluar dari jebakan reduksionisme ekonomi dan melihat bahwa perjuangan untuk masyarakat tanpa kelas adalah perjuangan multidimensi yang melibatkan basis ekonomi sekaligus ranah ideologi, budaya, dan politik secara integral.
Hegemoni: Konsensus yang Samar dan Tiga Tingkatannya dalam Pemikiran Gramsci
Konsep hegemoni dari Antonio Gramsci adalah salah satu kontribusi terpentingnya dalam memahami bagaimana kelas dominan dapat dan mampu mempertahankan kekuasaannya. Berbeda dengan pandangan Marxisme klasik yang cenderung menekankan koersi atau kekerasan negara sebagai alat dominasi utama, Gramsci berpendapat lain bahwa sebenarnya kekuasaan juga dijalankan melalui persuasi dan pembentukan konsensus.
Hegemoni, oleh karena itu, bukanlah sekadar hubungan dominasi yang dipertahankan melalui kekuatan, melainkan sebuah bentuk kepemimpinan politik dan ideologis yang mampu mengorganisasikan persetujuan (consent) dari kelas-kelas yang didominasi. Dalam pengertian ini, Gramsci memperluas makna asli hegemoni yang dalam bahasa Yunani yang merujuk pada penguasaan satu bangsa atas bangsa lain, menjadi sebuah kondisi di mana kepatuhan diperoleh melalui internalisasi ideologi kelas yang menghegemoninya.
Gramsci mengaitkan konsensus dengan spontanitas psikologis yang melibatkan berbagai bentuk penerimaan terhadap aturan sosiopolitis. Konsensus ini dapat muncul karena berbagai alasan, seperti rasa takut akan konsekuensi jika tidak patuh, kebiasaan mengikuti pola-pola tertentu, atau bahkan persetujuan terhadap elemen-elemen tertentu dari tatanan yang ada.
Namun bagi Gramsci, konsensus yang diterima oleh kelas pekerja dalam masyarakat kapitalis pada dasarnya bersifat pasif. Ini berarti penerimaan tersebut tidak didasarkan pada anggapan bahwa struktur sosial yang ada adalah keinginan atau kepentingan kelas pekerja itu sendiri, melainkan lebih karena kurangnya basis konseptual yang memungkinkan mereka memahami realitas sosial secara kritis dan efektif.
Dua faktor utama penyebab kurangnya basis konseptual tersebut adalah terselenggaranya pendidikan yang tidak mendorong pemikiran kritis dan sistematis, serta mekanisme kelembagaan seperti sekolah, gereja, partai politik, dan media massa, yang justru berperan sebagai alat bagi kelompok berkuasa untuk menanamkan ideologi dominan. Oleh karena itu, Gramsci menyimpulkan bahwa hakikat konsensus dalam masyarakat kapitalis adalah kesadaran yang bertentangan (contradictory consciousness), yang menjadikan hegemoni borjuis sebagai hasil dari konsensus yang samar-samar.
Berdasarkan realitas konsensus yang kompleks dan sering kali pasif ini, Gramsci mengidentifikasi tiga tingkatan hegemoni:
1. Tiga Tingkatan Hegemoni Gramsci
- Hegemoni Integral (Total): Tingkatan ini mencerminkan kondisi di mana afiliasi massa terhadap kelas dominan mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang sangat kokoh, yang ditandai oleh hubungan organis antara pemerintah dan yang diperintah. Pada tingkatan ini, tidak ada kontradiksi atau antagonisme yang signifikan, baik secara sosial maupun etis, karena ideologi kelas penguasa telah sepenuhnya meresap dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
- Hegemoni yang Merosot (Decadent): Pada tingkatan ini, meski sistem yang ada berhasil memenuhi kebutuhan dan sasarannya, terdapat potensi disintegrasi atau konflik yang tersembunyi di bawah permukaan. Mentalitas massa tidak sepenuhnya selaras dengan pemikiran yang dominan dan subjek penghegemoni. Artinya, meski kelas dominan masih memegang kendali, tetap terdapat keretakan atau ketidakpuasan yang laten. Hal ini menunjukkan bahwa konsensus tersebut mulai goyah dan mungkin tidak lagi sepenuhnya diterima secara pasif.
- Hegemoni Minimum: Tingkatan hegemoni ini sangat bergantung pada kesatuan ideologis antara elite ekonomi, politik, dan intelektual, tanpa melibatkan partisipasi aktif atau campur tangan massa dalam kehidupan bernegara. Kelompok-kelompok hegemonis cenderung tidak mau menyesuaikan kepentingan dan aspirasinya dengan kelas lain dalam masyarakat. Dominasi pada tingkatan ini lebih mirip “pemerintahan pasif” atau bahkan bentuk dominasi yang lebih terbuka, di mana konsensus yang ada sangat rapuh dan berpotensi untuk runtuh jika terjadi tantangan signifikan.
2. Batasan Konseptualisasi Hegemoni: Ekonomi, Masyarakat Politik, dan Masyarakat Sipil
Untuk memahami hegemoni secara komprehensif, Gramsci memberikan tiga batasan konseptualisasi yang saling terkait tetapi memiliki fungsi analitis yang berbeda, yaitu:
- Ekonomi: Batasan ini merujuk pada mode of production yang dominan dalam suatu masyarakat, yang mencakup teknik produksi dan hubungan sosial produksi yang muncul dari perbedaan kelas-kelas sosial berdasarkan kepemilikan alat-alat produksi. Ekonomi menjadi fondasi material tempat hegemoni dibangun, tetapi ekonomi tidak secara deterministik menentukan bentuk dan keberlangsungan hegemoni itu sendiri.
- Masyarakat Politik (Political Society): Ini adalah ranah di mana birokrasi negara dan praktik-praktik kekerasan negara (koersi). Gramsci mengidentifikasi masyarakat politik dengan lembaga-lembaga negara, termasuk angkatan bersenjata, polisi, lembaga hukum dan penjara, serta departemen administrasi yang mengurusi pajak, keuangan, perdagangan, industri, dan keamanan sosial. Meski demikian, Gramsci juga mengakui bahwa aktivitas negara dalam masyarakat politik tidak hanya terbatas pada tindakan koersif an sich, tetapi juga berperan dalam membangun konsensus melalui pendidikan dan fungsi kelembagaan.
- Masyarakat Sipil (Civil Society): Masyarakat sipil merujuk pada organisasi-organisasi di luar negara dan sistem produksi material-ekonomi yang didukung dan dilaksanakan oleh individu atau kelompok di luar struktur negara dan ekonomi tersebut. Gramsci menyebutkan bahwa komponen utama masyarakat sipil mencakup institusi religius (gereja), serikat dagang, sekolah, dan organisasi swasta lainnya. Di dalam masyarakat sipil inilah, kaum intelektual menjalankan tugas khusus mereka dalam membentuk dan menyebarkan ideologi (kontrahegemoni). Masyarakat sipil pun menjadi medan pertarungan ideologis dan kultural yang krusial dalam pembentukan atau penantangan hegemoni.
Penting untuk diingat bahwa Gramsci tidak memandang masyarakat politik dan masyarakat sipil sebagai entitas yang terpisah secara kaku. Akan tetapi, ia melihat keduanya sebagai bagian dari “negara integral” yang saling terkait dan tumpang tindih.
Keduanya terbentuk dari berbagai hubungan sosial yang kemudian menjelma menjadi berbagai organisasi, yang secara dinamis berinteraksi dalam proses pembentukan dan penantangan hegemoni. Pemahaman mendalam tentang ketiga batasan ini sangat esensial untuk mengurai kompleksitas mekanisme hegemoni dan strategi perubahan sosial dalam pemikiran Gramsci.
Konsep Negara Integral dan Perang Posisi dalam Pemikiran Gramsci
Antonio Gramsci kemudian juga memperkenalkan konsep negara integral atau negara yang diperluas sebagai cara untuk memahami mekanisme kekuasaan yang lebih kompleks dalam masyarakat kapitalis-maju. Berbeda dengan pandangan Marxisme klasik, yang cenderung melihat negara sebagai instrumen koersif murni di bawah kendali kelas pemilik modal, Gramsci berpendapat bahwa negara integral adalah hasil perpaduan antara masyarakat politik (political society), yang merupakan sumber koersi atau paksaan, dan masyarakat sipil (civil society), di mana kepemimpinan hegemonik—yaitu, konsensus sukarela—dibangun.
Dengan kata lain, negara integral adalah hegemoni yang diselubungi oleh kekuasaan koersif. Konsep ini membedakan Gramsci dari pandangan negara totaliter yang hanya mengandalkan paksaan; sebaliknya, negara integral Gramsci masih menyediakan ruang untuk menghasilkan persetujuan secara sukarela, meskipun konsensus tersebut sering kali “samar” dan pasif.
Konseptualisasi negara integral ini menegaskan bahwa kekuasaan tidak hanya terpusat pada lembaga-lembaga formal negara. Namun demikian, kekuasaan dipahami sebagai suatu hubungan yang tersebar luas, sehingga hubungan sosial dalam masyarakat sipil pun merupakan hubungan kekuasaan.
Pemahaman ini sangat kontras dengan Marxisme klasik dan Leninisme yang cenderung memandang kekuasaan terpusat pada negara dan dikendalikan sepenuhnya oleh kelas kapitalis. Gramsci berargumentasi bahwa di mana ada kekuasaan, di sana juga akan muncul perlawanan. Oleh karena itu, dalam masyarakat kapitalis yang sudah maju, lalu dengan masyarakat sipil yang kompleks dan berkembang, diperlukan strategi perlawanan yang berbeda dari “perang manuver” (serangan frontal) ala revolusi Bolshevik. Di kemudian, Gramsci menyebut strategi ini sebagai perang posisi (war of position).
Dalam perang posisi, kelas pekerja tidak melakukan penyerangan langsung terhadap negara, tetapi kelas pekerja berupaya membongkar sistem pertahanan ideologis dan kultural yang mendukung hegemoni borjuis. Ini dilakukan dengan membangun aliansi strategis dengan berbagai gerakan sosial lain dalam masyarakat sipil, yang bertujuan untuk melemahkan hegemoni kaum borjuis melalui organisasi-organisasi sipil, dan secara bertahap menghimpun kekuatan balik di bawah kepemimpinan kelas pekerja.
Peran Intelektual dalam Hegemoni dan Transisi menuju Sosialisme
Peran intelektual merupakan elemen krusial dalam analisis Gramsci tentang hegemoni dan transisi menuju sosialisme, sebuah tema yang ia kembangkan secara ekstensif dalam “Catatan Penjara” (Prison Notebooks). Ada dua pokok bahasan utama yang Gramsci tekankan mengenai intelektual: Pertama, pentingnya menghapus dikotomi lama antara kerja manual dan kerja intelektual yang selama ini dipertahankan oleh kapitalisme, baik dalam produksi maupun dalam masyarakat politik dan sipil. Kedua, ia menyoroti hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan, di mana monopoli pengetahuan oleh kelas penguasa menjadi sumber kekuasaan, sehingga perubahan mendasar dalam hubungan manusia dengan pengetahuan menjadi prasyarat transisi menuju sosialisme.
Gramsci menolak definisi tradisional intelektual yang terbatas pada sastrawan, filosof, atau seniman. Baginya, intelektual tidak didefinisikan oleh aktivitas berpikir itu sendiri (yang semua orang memilikinya), melainkan oleh fungsi sosial yang mereka jalankan.
Oleh sebab itu, ia menyatakan bahwa “semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual.” Intelektual, dalam pandangan Gramsci, adalah organisator dalam semua lapisan masyarakat—baik dalam wilayah produksi, politik, maupun kebudayaan. Mereka bukan hanya pemikir, penulis, atau seniman, melainkan mereka juga mencakup pegawai negeri, pemimpin politik, ahli mesin, manajer, dan teknisi, yang semuanya berperan dalam mengorganisasikan kehidupan sosial, negara, dan sistem produksi.
Lebih dalam lagi, Gramsci membuat distinasi penting antara intelektual organik dan intelektual tradisional. Intelektual tradisional, menurut Gramsci, adalah mereka yang pada dasarnya merupakan intelektual organik dari mode produksi sebelumnya (misalnya, feodal) atau yang sedang dalam proses digantikan. Dari perspektif kelas pekerja, semua intelektual organik dari kelas kapitalis dapat dianggap sebagai intelektual tradisional. Lain daripada itu, intelektual organik sendiri adalah individu yang secara sadar mewakili dan terintegrasi secara riil dan organik dengan lapisan kelas ekonomi tertentu.
Fungsi utama intelektual organik kelas kapitalis adalah bertindak sebagai agen kelas untuk mengorganisasikan hegemoni dalam masyarakat sipil dan mempertahankan dominasi melalui aparat negara. Contohnya, manajer, insinyur, dan teknisi terkemuka adalah intelektual organik dalam bidang produksi; politisi, penulis, akademisi, penyiar, dan wartawan yang berpengaruh adalah intelektual organik dalam masyarakat sipil; sementara pegawai negeri senior, perwira militer, jaksa, dan hakim adalah intelektual organik dalam negara. Gramsci berpendapat bahwa jika kelas pekerja ingin bangkit dari posisi subordinatnya, mengambil kepemimpinan bangsa, dan membangun kesadaran politik melalui reformasi moral dan intelektual, maka mereka harus menciptakan kelas intelektual organiknya sendiri.
Intelektual baru yang dibutuhkan oleh kelas pekerja memiliki karakteristik yang berbeda dari intelektual borjuis. Gramsci meyakini bahwa partai revolusioner memainkan peran kunci sebagai intelektual organik kelas pekerja. Setiap anggota partai, terlepas dari tingkat pendidikannya, harus dianggap sebagai seorang intelektual organik.
Partai revolusioner, bagi Gramsci, adalah garda depan proletariat yang bertugas mengorganisir dan menyatukan semua kekuatan yang diperlukan untuk revolusi, serta memimpin pemberontakan menentang negara borjuis untuk mendirikan negara pekerja. Dalam upaya menyatukan semua kekuatan ini, partai revolusioner harus mengambil inisiatif politik, membangun kerja sama erat dengan pekerja dan petani serta organisasi mereka, dan yang paling penting, memimpin reformasi intelektual dan moral. Reformasi ini adalah medan perjuangan ideologis yang bertujuan untuk mengubah kesadaran rakyat dan membangun pandangan dunia baru yang berlandaskan nilai-nilai sosialis, sebagai langkah krusial dalam meraih hegemoni dan mewujudkan transisi menuju sosialisme.

Lulusan Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta|Adil sejak dalam pikiran...
2 Pengikut

Teori Hegemoni Gramsci: antara Koersi, Konsensus, dan Kesadaran
Selasa, 19 Agustus 2025 14:15 WIB
Negara Integral dan Perang Posisi dalam Teori Hegemoni Gramsci
Minggu, 17 Agustus 2025 16:16 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler